Senin, 10 September 2012

Risalah Hati Cila (Monolog)

“Abang.... Cila ingin cerita...”. Aku tidak lebih dari seorang anak lain pada umumnya, mereka senang bermain, mereka senang berkumpul dengan teman sebayanya, becanda, saling menceritakan kebiasan mereka yang jorok, lucu dan konyol, menceritakan karakter guru di sekolah, makan bersama, berfoto bersama, menari dan bernyanyi bersama. Betapa penting, berarti, sangat dibutuhkan peran mereka sebagai motivasi. Namun tak sedikit dari mereka yang sukarela menolong dan acuh diwaktu mendapat kesulitan, enggan berbagi, dan ingin menang sendiri. Masaku adalah masa yang menyulitkan... (labil) Kenapa??? Bayangkan saja! Aku memiliki kakak laki-laki yang culas, malas, seenaknya dan tak mau tahu. Di usianya yang ke-18 pantasnya dia duduk di bangku kuliah dan sedikit bekerja sebagai sapingannya agar meringankan beban ibu dan bapak. Tapi ternyata tidak demikian, dia lebih memilih menganggur dan sekarang hanya sesal dalam benaknya. Pekerjaannya sehari-hari tidak lain hanya sebatas tidur, makan, dan bermain. Yakin dalam dirinya pasti ada rasa kejenuhan. “Lalu mengapa kau tak usaha Bang? Mengapa kau tidak mencari pekerjaan? Yaa penghasilannya kan untuk membeli rokokmu, aku, ibu, bapak, dan adik belum tentu mengganggu hasil keringat kau Bang, yaa sekiranya mau meringankan modal hidup kita. Bayangkan! Rokok yang kau bakar lalu asapnya ku isap dengan terpaksa tak cukup kau habiskan satu batang sehari bukan? Berbatang-batang, bahkan berbungkus-bungkus yang sebagiannya lagi untuk dibagikan pada temanmu... tidak kah kau merasa kasian pada bapak yang bekerja keras untuk kita dan membiarkan kita terpisah jauh dengannya hanya untuk kita, agar hidup kita panjang dan senantiasa dapat menyekolahkan adik-adikmu agar tidak terbengkalai hidupnya dan mampu memberi kebahagiaan pada ibu dan bapak tidak sepertimu”. ”Sudah cukup! Aku tidak akan menyalahkan kau Bang, karna aku pun belum bisa menjadi anak yang benar-benar diharapkan orang tua kita Bang. Tapi sebagai anak ke-2 dan satu-satunya perempuan, aku sering kali merasa cemburu padamu dan juga pada adik. Kau yang pertama, selalu diutamakan, sebelum aku, pasti kau yang harus lebih dulu mencoba, sementara aku, sesudah kau, bekas kau. Dan adik, karna dia anak bungsu dan masih kecil, maka keinginannya pasti dituruti pula karena cengengnya itu dan dia yang paling dimanjakan. Aku, aku apa yaa ? yaa aku anak perempuan, serba tidak boleh, dan yang sering disuruh-suruh, karena aku anak PEREMPUAN”. Kalau memang ternyata tidak diberi hak yang sama, sempat menyesal karena ditakdirkan menjadi perempuan. Tapi.. untuk apa disesali? Toh, semuanya juga sudah terjadi kan? Aku harus mensyukuri. Ternyata bersyukur juga tidak mudah, faktanya, karena banyak orang yang hidupnya lebih nyaman dan damai, aku selalu merasa cemburu pada mereka. Hidupnya seperti tak ada beban, padahal... mungkin sama denganku, bahkan lebih. Tetapi.. terkadang jika ku soroti anak-anak yang berpakain lusuh, benar-benar lusuh, kurus kering, rambut dan badannya tidak terurus, membawa kecrek yang sudah patah pula dan kantong bekas permen, membiarkan dirinya berjemur diatas teriknya matahari di siang bolong, sementara aku sedang melahap ice cream dengan kawan-kawanku sambil becanda, tertawa bersama, aku merasa orang yang paling beruntung dari dirinya, ku teteskan air mata. Aku benar-benar harus bersyukur, tapi keluargaku memang juga tidak beruntung dan juga tidak merugi, kita dapat dikategorikan cukup, tapi terkadang lebih dan kurang juga. ”Bang, pernah tidak mengalami sesal seperti aku? Kita adalah sama-sama anak ibu dan bapak, iya kan? Pernah tidak kau merasa kecewa oleh perkataan mereka yang menyakitkan? Sikap mereka yang sedikit keras pada kita? Aku sangat sakit hati Bang, aku yakin mereka begitu karena ada sebab, sebab itu kita yang sering berbuat ulah. Tapi Bang, aku orangnya perasa Bang, dan mudah tersinggung, jadi aku kurang menerima jika dikasari, aku kurang menerima jika di beri penegasan dengan kata-kata yang amat menyakitkan hati, bolehlah kau katakan aku lemah karna aku perempuan, memang iya... tidak bisakah mereka bicara baik-baik saja? Jika mereka begitu mungkin aku akan menerima, itu pun memang aku terima, tapi tak semudah menerima jika perkataan itu disampaikannya dengan baik. Bang, tahu tidak? Aku sebenarnya ingin melakukan pembelaan, bahwa aku sebenarnya tidak sepenuhnya salah, tapi apa dikata mereka... MEMBANTAH. Kalau sudah dikatakan demikian aku hanya bisa diam, dan diam pun disalahkan, fikir mereka aku acuh, mendengarkan dengan dengkul dan tidak menghargai mereka. Tuh kan, salah lagi Bang? Akan dijelaskan, tapi tidak diberi kesempatan berbicara... itu yang buat aku sakit Baaang. Memangnya Abang yang hidupnya keenakan, menyuruh saya dan berani memotong perkataan mereka”. “Tahu tidak Bang? Aku ingin sekali kita seperti kakak andik sungguhan, kita dapat berbagi cerita, saling memberi motivasi, saling membantu... Tapi kan tidak dengan kau Bang... kau memang perhatian, tapi caramu salah pula, kau juga hanya bisa membentak-bentakku sama halnya seperti mereka, apalagi jika kau kedatangan marah, habis aku Bang, aku tak sanggup menemui kau apalagi bertanya. Hanya berdiam diri dikamar saja dengan si persegi hitam leptop ASUSku sambil online di situs jejaring sosial dan membuka web seputar kord, vidio clip lagu untuk mengalihkan fikiranku agar tidak begitu strees”. “Tahu tidak Bang? Aku tidak seperti kau Bang, kau lampiaskan amarah dengan membantingkan barang, bahkan barang berharga sekalipun jika kau benar-benar marah, kau banting sampai hancur, sementara aku? Aku justru hanya bisa tertawa puas, yaa tertawa puas adalah salah satu ekspresi diriku untuk meluapkan stres yang ada, mungkin teman-temanku mengataiku gila.. ya.. ORANG GILA. Memang benar, aku gila, gilanya aku masih dapat berfikir sehat, hanya dalam kondisi galau dan benar-benar senang aku lakukan itu secara puas, sepuas-puasnya sampai perut terasa sakit karena terus tertawa. Tetapi memang nikmat tertawa itu, dan sesudahnya pun aku merasa lega, dan merasa tidak terbebani kembali”. “Aku memang bukan anak yang baik Bang, yang menutup hizabnya, yang lembut dan memesona. Kadang aku brutal, ingin mencoba dengan gaya laki-laki, tapi tidak pernah sampai demikian/menyerupai itu, hanya ada sebagian kecil dari itu. Aku sempat berfikir Bang, jika aku berpenampilan sepertimu, aku tak akan diganggu, dan kau pun tak perlu menitipkanku pada teman-temanmu yang juga sama nakalnya sepertimu. Karena kau tahu, ibu dan bapak sangat menjagaku, hingga bersi keras melarangku untuk tujuan yang tidak jelas. Aku sangat tahu mereka demikian karena sangat sayang, karena sangat itulah sehingga aku merasa terkekang dan merasa serba tidak boleh dan melarang kebebasku untuk bergaul. Padahal masaku adalah masa bermain, masa berkarya, mengenal lingkungan. Karena aku merasa terkekang maka ada sebagian hal yang tidak sesuai dengan yang kau harapkan, mungkin aku melakukan hal yang diluar nalar, diluar kebiasaanku di istana kita, tetapi tidak begitu fatal dan engkau pun tak tau. Sebenarnya aku juga menyesal telah demikian, sangat menyesal, entah engkau dan mereka akan mempercayaiku lagi atau tidak sama sekali sehingga sampai benar-benar diusia yang sudah matang pun kalian tidak akan melepasku”. “Sempat berfikir demikian... karena mereka dan kau sangat melindungiku, hingga merasa hakku kalian ambil, jangan-jangan.... mereka tak akan melepasku hingga tua sekalipun hidup di istana yang sama bersama mereka. Padahal aku sangat ingin sekali berkarya dan memberikan hasil dari karyaku itu pada mereka, dan karya itu muncul dari mereka teman-temanku Bang, gagasan, ide, imajinasi yang cemerlang itu lahir karena adanya mereka, kawan-kawanku yang membantuku dan juga keluargaku tentunya. Aku sempat berjanji Bang, jika kelak aku mempunyai anak dan aku diberi waktu untuk itu, aku tak akan mengekang anakku, aku akan melindunginya, tetapi tidak menutup jendelanya untuk berkarya, berkawan dengan kawan-kawan yang baik, dan lebih dekat denganku, sehingga dia dapat menceritakan semua pengalamannya padaku tanpa terkecuali. Sementara aku mungkin sangat pandai menutup diri, karena untuk bercerita pada kau, dan mereka pun sangat sukar terbelenggu rasa takut yang berakhir kekerasan”.

0 komentar:

Posting Komentar